Spiga

Tip Membeli Obat

Pagi ini saya coba mencari kata membeli obat lewat Google. Banyak hasilnya. Tapi ada satu yang menarik perhatian saya, karena yang menulis adalah seorang dokter. Agar bisa jadi second opinion terhadap tulisan tulisan saya, maka saya copy paste tulisan tersebut untuk anda. Silahkan disimak.

Antara MedRep, Dokter, dan MLM-ers

Maaf, ini bukan dimasudkan untuk menyinggung, tapi klo ada yang tersinggung...ya maaf

Sudah bukan rahasia lagi bahwa dokter yang menjalankan praktiknya (karena ada juga dokter yang ga praktik) selalu berurusan dengan obat. Nah, obat-obat ini (apalagi di Indonesia) banyak banget jenisnya, istilah kerennya sediaan spesialistisnya bejibun. Untuk obat dengan komposisi Parasetamol saja (penurun panas) ada ratusan merek dagang. Tentu saja dengan variasi harga yang berbeda. Aku memang tidak membantah kalau ada yang mengatakan, secara praktis ternyata sediaan spesilistis ini berbeda khasiatnya dibanding generik, walaupun di iklan TV dulu digembargemborkan mengenai khasiat obat generik sama aja dengan obat bermerek.

Tapi bukan masalah khasiat yang akan aku bicarakan tetapi lebih kepada strategi promosi dan penjualan obat-obat spesialistis (non-generik) tersebut.

Menurutku dokter memang sulit terlepas sebagai target promosi oleh medical representative (MedRep, mirip dengan SPG-lah = sales promotion girl). Karena dokter (maupun apoteker) merupakan ujung tombak penjualan obat dari pabrik pembuatnya. Namun, yang amat disayangkan ialah, persaingan kuat antar pabrik obat membuat para MedRep cukup dibuat pusing, mereka diberi target oleh perusahaan untuk "mengumpulkan" tandatangan para dokter. Nah, yang paling susah, ketika sang MedRep ga "kuat" alias ga sabaran ketika bertemu dokter yang idealis atau sangat susah ditemui karena sibuk, padahal deadline pengumpulan daftar tandatangan sudah di depan mata. Jadilah sering ada tandatangan dokter yang dipalsukan. Selain itu, para MedRep ini juga terkadang (tidak semua), terutama MedRep perempuan, memberikan bonus berupa dirinya, mulai dari senyum manisnya bahkan bisa sampai seperti yang dilakukan oleh lady escort (pada tahu kan...??)

Aku tidak menyalahkan apa yang MedRep lakukan. Semuanya berpulang ke pada si dokter sendiri, kalau dia kuat iman tidak akan tergoda dengan berbagai cara yang sudah di luar batas itu.

Beberapa waktu lalu aku sempat dicurhati adik kelas yang masih koas (mahasiswa profesi dokter), tentang seorang guru kami, staf sebuah RS terkenal, yang dengan santainya mengatakan: "Kalau tidak karena obat-obat itu (atau kalau tidak karena MedRep dan pabriknya), mana mungkin saya dan keluarga bisa jalan-jalan ke luar negeri? So, jangan anggap remeh obat obat itu!"

Dulu pun ketika aku masih koas, banyak sekali "guyonan" tentang gimmick (baca: strategi/muslihat bonus) oleh pabrik obat ini. Ada staf pengajar ditempatku yang ngomong sambil tertawa: "Dik, tahu ga..klakson mobil saya itu bunyinya C**do..C**do" (bukan tin..tin atau tet..tet..). Yang di maksud itu ialah nama sebuah pabrik obat yang memberikan bonus mobil karena si dokter dianggap mampu mencapai target peresepan obat. Yah, target peresepan!, kuncinya di sini. Sehingga menurutku tidak masalah ketika MedRep tidak memberi target peresepan tertentu kepada sang dokter ketika mempromosikan obatnya, misalnya begini: Dok, kalau dokter bisa meresepkan obat kami yang ini, sejumlah batas minimal 100 tablet per minggu, maka nanti dokter dapat bonus kunci mobil...langsung di depan" (maksudnya sih sudah bisa langsung dipake mobilnya). Selain itu aku juga melihat langsung (waktu masih koas juga) pasien yang ditawari sebuah alat kesehatan untuk mengeluarkan cairan dari rongga dadanya. Setelah aku usut, ternyata alat itu dijual oleh seorang dokter bedah senior.

Dari teori yang pernah aku ketahui, ini disebut sebagai Supply Induce Demand, sayang sekali sang konsumen atau pasien buta sama sekali terhadap tindakan, obat, dan alat kesehatan yang ditawarkan kepadanya. Pasien dan keluarganya kalau sudah sakit prinsip utamanya ialah: yang penting sembuh. Bahkan sang dokter justru nakut-nakutin kalau ga pake obat (merek ini) si pasien ga bakalan sembuh. Jadi enak banget toh jadi dokter yang bermental pedagang, hehehe...maksudnya dagang obat kepada pasien.

Wah, serunya lagi kalau sang dokter juga ikut jadi penyemarak dunia MLM (Multi Level Marketing) seperti Ti***hi, K-**nk, dll. Pasti cepat kaya tuh dokter. Kan apa kata dokter dianggap sebagai "sabda dewa penyelamat".

OK, kembali ke awal tentang dokter yang main mata dengan pabrik obat melalui MedRep-nya. Beberapa waktu lalu, aku sempat didatangi MedRep juga, dia promosi tentang obatnya dengan diakhiri kata-kata seperti biasanya: "mohon dibantu peresepannya buat pasien dokter..." Seperti biasa aku bilang: OK, pasti saya bantu, yang penting obat lebih murah dan cespleng. Iseng juga aku tanya ke MedRep tersebut. "Pabrik obatnya sering menyelenggarakan seminar kedokteran ga?" "Wah, kalau kita belum pernah kok dok..., tapi dokter ada rencana mau ikut seminar? nanti kita bayarin..." Nah..nah.. "OK, boleh ya? ada umpan balik ga kalau saya dibiayai ikut seminar? (si MedRep kayaknya langsung paham). O, engga kok dok, kita ga nargetin apa-apa, silakan kontak saya aja kalau dokter butuh dibiayai ikut seminar...". "Baik, terima kasih..."

Terus-terang teman-teman...inilah lingkaran syetan yang tersulit untuk dibasmi, kalau dokternya masih waras seperti aku (hehehe...) pasien insya Allah tidak akan terzalimi atau tertipu. Asal si dokter berorientasi kepada kepuasan dan membela hak pasien pasti hal tersebut bisa diminimalisasi.

Terus terang lagi, kondisi yang sulit tetap dialami dokter seperti (ini asumsi kalau dokternya masih waras):
  • Kerja di RS, dan belum hapal harga obat (jadi harus bolak-balik tanya harga ke bagian farmasi/apotek). Pernah aku kebobolan obatnya terlalu mahal, sampai si keluarga pasien nanya lagi berapa harga obatnya, ketika mau aku tambah obat lagi (karena indikasi lain)
  • Kerja di apotek/klinik, apalagi yang waralaba, dijamin kantong pasien sering kebobolan. Apalagi bos apotek menyaratkan nilai nominal tertentu seperti yang dialami oleh banyak rekan sejawatku ketika kerja di klinik 24 jam. Pokoknya harga obat yang diresepin minimal harus (katakan saja) 20 ribu, kalau kurang dari itu, yah...harus ditambah apa gitu (misal: vitamin, atau merek obatnya diganti dengan yang lebih mahal) agar plafon harga terendah dapat tercapai. Apotek/klinik untung, dokter pusing kepalanya (karena harus tetap bertahan di tempat kerja tersebut), pasien bobol kantongnya...

Posisi kerja yang ideal sebagai dokter menurutku ialah seperti di tempat kerjaku yang lain yaitu di klinik mahasiswa yang dibiayai dengan premi asuransi. Jadi pasien ga peduli apa sakitnya, dia akan dapatkan obat (bahkan obat terbaik sekali pun) tanpa perlu takut dengan harganya. Dokter senang melayani (karena gajinya juga bisa tinggi), pabrik obat juga senang karena obatnya laku keras.

Berikut tips supaya tidak dibobolin kantongnya:
  • Bilang ke dokter diresepin obat generiknya aja (kadang dokter jarang menawarkan resep generik. Atau kalau memang tidak ada obat generiknya mohon dicarikan dengan harga termurah tapi berkualitas (untuk hal ini si dokter akan melihat daftar harga obat atau menanyakan ke pihak apotek). Kadang pun kalau sudah diresepin generik, sering juga apoteknya main nakal, obatnya diganti dengan yang mahal.
  • Selalulah minta second opinion ke dokter lain, atau baca-baca literatur, jika diberikan obat tertentu, apakah sudah sesuai baik indikasi maupun harganya.
  • Kalau dokternya sampai ngomong: "kalau tidak pakai obat merek ini tidak akan sembuh", atau si dokter tidak mau melayani lebih lanjut..., saranku: minta dirawat dokter lain, pindah ke dokter praktik lain atau apotek lainnya. Tapi kalau ternyata kasusnya kita tidak bisa memilih karena (misal): ternyata cuma ada si dokter tersebut di tempat itu, atau apotek lain jauuuh, yah...sudahlah terimalah nasib itu, berdoalah agar situasi tersebut cepat berubah
Tulisan tersebut saya ambil dari http://subhanallahu.multiply.com/journal/item/77

Bolehkah Tempat Praktek Dokter Buka Tanpa Ada Dokter?

Jelas pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab. Tidak mungkin tempat praktek dokter buka tanpa ada dokternya. Siapa yang akan melayani pasien yang datang ?

Pertanyaan serupa mestinya berlaku untuk apotek. Apotek adalah tempat praktek apoteker. Logikanya sama dengan tempat praktek dokter. Tapi mengapa apotek tetap dapat melayani pasien meski tanpa apoteker ?

Kegiatan profesional dokter adalah mendiagnosa pasien dan meresepkan obat yang dibutuhkan bila diperlukan. Interaksi antara dokter dengan pasien berwujud transaksi jasa. Pasien berkonsultasi dengan dokter. Jelas dalam transaksi tersebut peran dokter tidak mungkin digantikan oleh profesi yang lain. Jadi jika dokternya berhalangan maka tempat prakteknya akan tutup. Dan pasienpun akan mahfum.

Di apotek interaksi antara pasien dengan apoteker berwujud transaksi jasa dan dagang. Pasien datang ke apotek menyerahkan resep dokter, kemudian apoteker mempersiapkan dan (kalau perlu) meracik obat yang dibutuhkan, seterusnya menyerahkan obat tersebut kepada pasien. Entah kapan dan dari mana mulainya sekarang ini yang dominan adalah transakasi dagang saja. Meski transaksi jasa masih ada tapi peran tersebut digantikan oleh orang lain. Peran apoteker tidak dominan bahkan cenderung tidak kelihatan. Baik pasien maupun apoteker sama sama merasa tidak ada yang salah. Padahal pasien berhak untuk mendapatkan jasa dari apoteker berupa penjelasan atas obat yang dibutuhkan dan apoteker berkewajiban memenuhinya.

Dengan perkembangan yang demikian melenceng dari rel yang semestinya akhirnya apotek dapat tetap buka meski tidak ada apotekernya. Bahkan ada apotek yang apotekernya hanya datang beberapa kali dalam sebulan. Jelas ini sebuah penyimpangan.

Membandingkan tempat praktek dokter dengan apotek pada saat ini memang tidak relevan. Di tempat praktek dokter peran sentralnya ada di tangan dokter. Kegiatan utama tidak akan berlangsung kalau dokternya belum ada. Di apotek tidak demikian. Saat ini peran sentral belum sepenuhnya di tangan apoteker. Kondisi ini terjadi karena kelengahan apoteker dan lemahnya penegakan hukum.

Untuk mengatasi hal tersebut pada saat ini Departemen Kesehatan sedang menggodok lahirnya Peraturan Pemerintah tentang Tenaga Kefarmasian. Salah satu poin penting dalam PP tersebut adalah larangan bagi apotek untuk melayani resep dokter bila tidak ada apotekernya. Upaya melahirkan PP ini patut mendapatkan apresiasi karena hak dan kepentingan pasien akan terlindungi. Bagi kalangan apotekerpun juga bisa menjadi titik balik bagi terwujudnya profesi apoteker yang paripurna.

Nah bagi anda, pasien maupun konsumen apotek, kini saatnya untuk mulai memperhatikan hak hak anda. Bagi apoteker inilah saatnya untuk mengaktualisasikan diri di tengah tengah masyarakat.

Mengganti Merek Obat

Seringkali di bagian bawah lembar resep dokter tertera tulisan dilarang mengganti obat tanpa seijin dokter atau yang semacamnya. Larangan tersebut ditujukan kepada apotek. Maksudnya jelas bahwa apoteker tidak boleh mengganti obat yang ditulis/diresepkan oleh dokter. Misalnya dalam resep tertulis captopril, maka apoteker harus memberikan captopril.

Namun dalam prakteknya penafsiran atas larangan tersebut berkembang. Ada penafsiran lain bahwa apoteker juga dilarang untuk mengganti merek. Bila dokter memilihkan captopril 25 mg dengan merek dagang capoten 25 mg maka apoteker dilarang untuk mengganti dengan, misalnya, vapril 25 mg atau merek yang lain meski sama sama berisi captopril.

Argumentasi dari larangan penggantian merek adalah perbedaan efikasi. Meski belum ada bukti ilmiah yang mendukung, tapi efektifitas capoten diasumsikan lebih baik dibanding vapril karena capoten dibuat oleh pemegang hak paten captopril. Dari segi harga kedua merek tersebut berbeda cukup bermakna.

Dalam konteks pemilihan merek sebenarnya terkandung unsur subjektifitas. Masing masing dokter memiliki pilihan yang belum tentu sama. Pertimbangannya berbeda beda. Ada yang karena unsur kepercayaan kepada produsen, ada yang karena mengikuti seniornya, ada yang karena pengalaman pribadi, ada yang karena dampak promosi dan lain lain.

Memang belum ada survey khusus untuk membuktikan hipotesa diatas. Tapi melihat kenyataan bahwa merek dagang captopril lebih dari satu maka sangat mungkin hipotesa tersebut benar. Logikanya tidak mungkin produsen membuat captopril dengan merek dagang bila tidak ada yang mau meresepkan. Hal yang sama berlaku pula untuk nama generik yang lain.

Pasien sebagai konsumen yang harus membayar dan mengonsumsi obat sejatinya memiliki hak untuk dipilihkan merek sesuai pertimbangan ilmiah dan daya belinya. Praktek yang terjadi tidaklah demikian. Dokter memilihkan merek (mungkin) menggunakan pendekatan ilmiah tapi belum tentu mempertimbangkan kemampuan ekonomi pasien. Terlalu merepotkan bila selain hafal merek dagangnya dokter juga harus hafal harganya. Tidak heran bila pasien terkadang tidak mampu menebus penuh resep yang didapat. Karenanya mengganti merek semestinya memang tidak termasuk hal yang dilarang bagi apoteker selagi pasien menyetujuinya.

Melirik Obat Generik

Perkembangan konsumsi obat generik di Indonesia bisa dibilang relatif lambat. Data kasar menyebutkan total penjualan obat generik hanya sekitar 7% dari total pasar farmasi, meski sudah lebih dari 2 dasawarsa diluncurkan. Padahal jenis obat generik yang beredar cukup lengkap, mencakup lebih dari 90% obat esensial.

Mengapa bisa demikian ?

Obat generik memang masih dipandang sebelah mata oleh para pihak yang berkepentingan terkait (stakeholder) karena beragam alasan. Yang paling klasik dan fundamental adalah alasan kualitas. Ini terkait dengan harganya yang murah. Secara umum harga obat generik kurang dari 50% dari harga obat generik bermerek.

Masalah kualitas tidak bisa hanya dinilai dari harga. Kualitas dalam obat terkait erat dengan khasiat dan ini harus dibuktikan dengan penelitian laboratorium. Selama ini paradigma yang mengatakan harga berbanding lurus dengan kualitas akibat pengaruh pemasaran yang agresif. Obat yang dipasarkan secara agresif membutuhkan biaya pemasaran yang besar. Biaya tersebut akan mempengaruhi harga. Maka tidak heran kalau harga obat bermerek jauh kebih mahal dari obat generik.

Dalam kancah persaingan lebih sering obat generik membandingkan persamaan khasiat dan kualitas dengan obat bermerek. Khasiat dan kualitas obat generik dikatakan berbeda tidak bermakna dengan obat bermerek. Tidak ada yang sebaliknya. Atau kalaupun ada sangat langka. Dalam hal ini jelas bahwa obat bermerek tidak mau menganggap obat generik sebagai pesaing karena kalau tidak ada perbedaan malah bisa menjatuhkan pamornya.

Untuk menentukan jenis obat pertimbangannya harus ilmiah. Begitu juga dengan pemilihan merek. Jika pemilihan merek didasarkan pada pertimbangan emosional maka yang terjadi adalah pemborosan. Kalau hal ini disadari oleh penentu (dokter) dan pengguna (pasien) tidak ada salahnya. Tapi kalau hanya dokter yang menyadari kasihan pasiennya, apalagi kalau pasiennya tergolong tidak mampu.

Memang pertimbangan rasional lebih bisa dipertanggungjawabkan dalam pemilihan obat. Jadi tidak perlu gengsi mengonsumsi obat generik. Kalau sakit mintalah obat generik kepada dokter. Kalau dokter mengatakan khasiatnya tidak sama atau tidak manjur, mintalah bukti ilmiahnya.

Apakabar Obat Murah ?

Setahun yang lalu salah satu BUMN Farmasi meluncurkan sekelompok produk yang disebut dengan Obat Murah atau Obat Seribu (beritanya bisa di klik disini). Latar belakangnya untuk memberi pilihan kepada masyakat yang membutuhkan obat.
Obat Murah pada dasarnya adalah obat obat bebas (OTC) yang tidak bermerek. Meski demikian agak berbeda dengan obat generik karena dalam Obat Murah yang ditonjolkan adalah khasiatnya bukan nama generiknya agar masyarakat awam mudah mengenalinya. Tidak berapa lama kemudian 2 BUMN lain menyatakan juga berminat memproduksi Obat Murah (beritanya ada disini).

Secara teoritis kualitas dan khasiat Obat Murah tidak berbeda dengan obat yang lain karena cara pembuatan dan bahan bakunya harus sesuai dengan metoda dan spesifikasi yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Dan dalam praktek mestinya juga sama. Dengan demikian tujuan penyediaan obat yang berharga murah sudah tercapai. Masalah apakah masyarakat mau atau tidak mengonsumsi obat murah tergantung sejauh mana efektifitas dari sosialisasinya.

Dalam konteks Obat Murah istilah sosialisasi lebih tepat dibanding dengan pemasaran karena kalau pemasaran tanggungjawabnya hanya pada produsen sementara sosialisasi tanggungjawab bersama antara produsen dan Pemerintah. Kalau program sosialisasi hanya dipikul produsen pasti sangat memberatkan karena biayanya tidak sedikit.

Setelah setahun diluncurkan nampaknya baru satu produsen saja yang konsisten membuat. Dua BUMN Farmasi lain yang menyatakan akan ikut meramaikan ternyata sampai saat ini belum juga meluncurkan. Apalagi produsen swasta. Dimana salahnya ?

Sebagaimana pepatah mengatakan dimana ada gula disitu ada semut, berarti Obat Murah belum seperti gula sehingga belum ada semut yang mendekat. Karena, (pertama) tingkat konsumsi masih belum mencapai skala ekonomis sehingga, (kedua) profitabilitasnya rendah atau bahkan rugi (?).

Kalau demikian halnya masalah yang mendasar adalah kurangnya sosialisasi. Memang dalam hal ini produsen sudah menjalankan tapi masih sangat kurang intensitasnya. Hal ini bisa difahami karena keterbatasan dana. Bagaimanapun produsen harus memperhitungkan untung rugi dan kekuatan cashflow. Sementara itu sosialisasi dari Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan masih terlalu minim.

Jikalau keadaan seperti ini dibiarkan bukan mustahil produsen akan menghentikan produksinya. Oleh karenanya Pemerintah sebaiknya segera turun tangan. Departemen Kesehatan harus aktif ikut mensosialisaikan. Kalau perlu Departemen Komunikasi dan Informasi juga terlibat. Program Obat Murah adalah program yang pro rakyat, jadi perlu dilestarikan. Jangan biarkan program ini layu karena tidak dipelihara.