Spiga

Apakabar Obat Murah ?

Setahun yang lalu salah satu BUMN Farmasi meluncurkan sekelompok produk yang disebut dengan Obat Murah atau Obat Seribu (beritanya bisa di klik disini). Latar belakangnya untuk memberi pilihan kepada masyakat yang membutuhkan obat.
Obat Murah pada dasarnya adalah obat obat bebas (OTC) yang tidak bermerek. Meski demikian agak berbeda dengan obat generik karena dalam Obat Murah yang ditonjolkan adalah khasiatnya bukan nama generiknya agar masyarakat awam mudah mengenalinya. Tidak berapa lama kemudian 2 BUMN lain menyatakan juga berminat memproduksi Obat Murah (beritanya ada disini).

Secara teoritis kualitas dan khasiat Obat Murah tidak berbeda dengan obat yang lain karena cara pembuatan dan bahan bakunya harus sesuai dengan metoda dan spesifikasi yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Dan dalam praktek mestinya juga sama. Dengan demikian tujuan penyediaan obat yang berharga murah sudah tercapai. Masalah apakah masyarakat mau atau tidak mengonsumsi obat murah tergantung sejauh mana efektifitas dari sosialisasinya.

Dalam konteks Obat Murah istilah sosialisasi lebih tepat dibanding dengan pemasaran karena kalau pemasaran tanggungjawabnya hanya pada produsen sementara sosialisasi tanggungjawab bersama antara produsen dan Pemerintah. Kalau program sosialisasi hanya dipikul produsen pasti sangat memberatkan karena biayanya tidak sedikit.

Setelah setahun diluncurkan nampaknya baru satu produsen saja yang konsisten membuat. Dua BUMN Farmasi lain yang menyatakan akan ikut meramaikan ternyata sampai saat ini belum juga meluncurkan. Apalagi produsen swasta. Dimana salahnya ?

Sebagaimana pepatah mengatakan dimana ada gula disitu ada semut, berarti Obat Murah belum seperti gula sehingga belum ada semut yang mendekat. Karena, (pertama) tingkat konsumsi masih belum mencapai skala ekonomis sehingga, (kedua) profitabilitasnya rendah atau bahkan rugi (?).

Kalau demikian halnya masalah yang mendasar adalah kurangnya sosialisasi. Memang dalam hal ini produsen sudah menjalankan tapi masih sangat kurang intensitasnya. Hal ini bisa difahami karena keterbatasan dana. Bagaimanapun produsen harus memperhitungkan untung rugi dan kekuatan cashflow. Sementara itu sosialisasi dari Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan masih terlalu minim.

Jikalau keadaan seperti ini dibiarkan bukan mustahil produsen akan menghentikan produksinya. Oleh karenanya Pemerintah sebaiknya segera turun tangan. Departemen Kesehatan harus aktif ikut mensosialisaikan. Kalau perlu Departemen Komunikasi dan Informasi juga terlibat. Program Obat Murah adalah program yang pro rakyat, jadi perlu dilestarikan. Jangan biarkan program ini layu karena tidak dipelihara.